IKATAN KELUARGA KATOLIK SUMATERA UTARA

Beranda » Teologi » SEJARAH PERKEMBANGAN DEVOSI DALAM GEREJA KATOLIK (Zaman kristiani awali sampai Konsili Vatikan II)

SEJARAH PERKEMBANGAN DEVOSI DALAM GEREJA KATOLIK (Zaman kristiani awali sampai Konsili Vatikan II)

Devosi pada dasarnya ialah beragam nama doa dan praktik-praktik yang awalnya merupakan inisiatif pribadi/kelompok dan kemudian diterima oleh Gereja. Beberapa dari mereka sungguh direkomendasikan dan disetujui oleh otoritas gerejawi. Dengan dikatakan beragam nama mau ditunjukkan bahwa ada sejumlah besar bentuk doa sepanjang masa. Ada yang telah hilang di masa lampau, ada yang muncul dan masih dipraktikkan hingga sekarang, dan ada pula yang muncul pada masa kini. Devosi tersebut bisa berbentuk doa-doa (misalnya Novena pertolongan ilahi) serta praktik-praktik (devosi yang menekankan praktik lahiriah untuk menunjukkan sikap devosi batiniah) misalnya ziarah, jalan salib, memakai medali).[1]

Karena berasal dari inisiatif pribadi/kelompok, maka devosi tidak berlaku wajib bagi semua orang katolik. Otoritas gerejawi memiliki hak dan kewajiban untuk mengecek secara bijak beragam devosi itu. Mereka mesti mengecek, menyetujui dan merekomendasikan kalau baik, memodifikasi dan mengoreksi bila terlalu berat sebelah atau sepihak, atau melarang bila salah. Jadi singkat kata devosi berkaitan erat dengan kebutuhan Gereja. Devosi-devosi muncul sebagai jawaban atas kebutuhan rohani umat dalam kebudayaan dan waktu tertentu.

Agar menjadi lebih jelas kita perlu melihat dimensi historis dari devosi itu sendiri sebagai suatu perjalanan panjang bertahun-tahun bahkan berabad-abad sebagaimana umat beriman mencari jalan untuk menghidupi iman mereka. Paper ini membahas dimensi historis dari devosi mulai dari zaman kristiani awali sampai pada Konsili Vatikan II. Dengan pembahasan ini diharapakan kita memperoleh pemahaman yang semakin mendalam akan devosi dan pada akhirnya kita dapat membangun kehidupan devosi dalam kehidupan kita sehari-hari.

2.      Sketsa Perjalanan Sejarah Devosi[2]

2.1 Zaman Kristiani Awali

Tanda-tanda kesalehan personal sudah ditemukan di kalangan generasi Kristiani pertama. Diilhami tradisi Yahudi , mereka mengikuti teladan doa tanpa henti dari Yesus dan St. Paulus (bdk. Luk. 18:1; Rm. 12:12; 1 Tes. 5:17), dan memulai serta mengakhiri segala sesuatu dengan ucapan syukur (bdk. 1 Kor. 10:31; 1 Tes. 2:13; Kol. 3:17). Umat beriman juga memiliki kebiasaan untuk mengulang-ulang seruan-seruan kepada Yesus  yang terdapat dalam Kitab Suci (tanda-tanda devosi kristologis) seperti : “Yesus Anak Daud kasihanilah aku”, “ Tuhan jika Engkau mau, Engkau dapat menyembuhkan daku.”

Hingga abad ke-2, bentuk devosi yang muncul karena pengaruh Yahudi, Yunani- Romawi atau kebudayaan lain secara spontan masuk dalam liturgi. Misalnya Traditio Apostolica yang berisi unsur-unsur yang diwariskan dari sumber-sumber populer popular. Penghormatan para martir bisa dilacak kaitannya dengan ingatan akan orang yang meninggal. Beberapa bentuk penghormatan pada Santa Perawan Maria (merupakan bentuk penghormatan yang paling tua) juga mencerminkan kesalehan umat, diantaranya Sub tuum praesidium dan patung Maria di Katakombe St. Priskila di Roma. Dalam masa ini liturgi dan kesalehan umat berpadu secara harmonis dalam merayakan misteri Kristus yang satu dan utuh dalam kehidupan rohani umat.

Pada Abad ke-4, hubungan antara liturgi dan kesalehan umat mengarah kepada penyesuaian dan inkulturasi. Gereja-gereja setempat tidak ragu-ragu menyerap ke dalam liturgi sejumlah unsur kultis dan pesta yang sudah dimurnikan yang berasal dari dunia kafir. Sampai dengan abad ke-5, cita rasa kekudusan yang berkaitan dengan waktu dan tempat semakin berkembang. Dalam kaitan dengan waktu beberapa Gereja lokal mulai mengkhususkan hari-hari tertentu untuk Perayaan misteri Kristus yang menyelamatkan (Epifani, Natal, dan kenaikan) atau untuk menghormati para martir pada hari kelahiran mereka. Dalam kaitan dengan sosialisasi tempat dimana jemaat diundang untuk merayakan misteri-misteri Ilahi dan menyampaikan pujian kepada Tuhan, harus diketahui bahwa tempat untuk ibadat kafir telah dialihkan menjadi tempat kudus dan didedikasikan secara khusus untuk ibadat ilahi.

Masa kepausan Paus Gregorius VII (590-604) memiliki arti penting. Masa kepausannya dapat dilihat sebagai contoh hubungan penuh buah antara liturgi dan kesalehan umat. Gregorius Agung mengusahakan suatu pembaharuan yang cukup besar terhadap liturgi dan kepada umat disajikan struktur-struktur yang mengungkapkan kepekaan umat dan sekaligus tetap setia mendasarkan diri pada perayaan misteri-misteri ilahi.

2.2 Zaman Abad Pertengahan

Antara Abad ke-7 dan ke-15 mulai terjadi pemisahan tegas antara liturgi dan kesalehan umat yang secara bertahap menjadi semakin jelas, dan akhirnya bermuara pada dualisme perayaan. Sebab-sebab perkembangan dualisme ini antara lain :

·         Pandangan bahwa liturgi adalah wewenang kaum klerus, sementara dalam liturgi itu umat beriman tidak lebih dari penonton.

·         Perbedaan peran tegas dalam masyarakat Kristiani (klerus, rahib, kaum awam) memunculkan bentuk-bentuk doa yang berbeda.

·         Dalam liturgi dan ikonografi, pertimbangan yang khusus diberikan kepada berbagai segi dari misteri Kristus yang satu dan sama.

·         Kurangnya pengetahuan mengenai Kitab suci menyebabkan sulitnya pemahaman terhadap struktur dan bahasa simbolis dari liturgi.

·         Melimpahnya tulisan-tulisan apokrif yang biasanya lebih menarik perhatian umat, karena menyentuh imaginasi kaum beriman.

·         Tidak adanya kotbah homiletik, menghilanganya kotbah mistagosis, dan miskinnya pembinaan katekis menyebabkan perayaan liturgi tertutup untuk pemahaman dan partisipasi aktif kaum beriman.

·         Kecenderungan beralegori yang secara keterlaluan mereka-reka teks dan ritus liturgi, sering menyesatkan kaum beriman dari pemahaman yang tepat mengenai hakikat liturgi.

Dalam Abad Pertengahan muncul dan berkembang banyak gerakan spiritual dan aneka bentuk persekutuan yang bersifat yuridis dan gerejawi. Pola hidup dan kegiatan mereka sangat dipengaruhi oleh hubungan antara liturgi dan kesalehan umat.

Tarekat-tarekat religius baru yang mendasarkan diri pada semangat injili dan merasul, membaktikan usaha mereka pada khotbah dan mengambil alih bentuk-bentuk liturgi yang lebih sederhana dibandingkan dengan liturgi yang ditemukan di pertapaan-pertapaan. Pada abad-abad ini muncul pula perkumpulan persaudaraan yang memiliki tujuan religius dan amal kasih, serta paguyuban-paguyuban kaum awam dengan minat-minat profesional. Munculnya kelompok-kelompok ini membangkitkan sejumlah kegiatan liturgis popular. Mereka sering membangun kapel-kapel untuk keperluan religius mereka, memilih pelindung , dan merayakan pesta mereka.

Aneka sekolah spiritual yang telah muncul selama abad pertengahan menjadi acuan penting untuk kehidupan gerejawi. Sekolah-sekolah ini membangkitkan sikap hidup dan beragam cara menafsirkan pola hidup dalam Kristus dan melalui Roh Kudus. Masyarakat sipil yang secara ideal ditata sebagai masyarakat Kristiani, meniru banyak struktur gerejawi dan diatur menurut irama kehidupan liturgis.

Selama Abad Pertengahan banyak bentuk kesalehan umat muncul dan semakin berkembang. Banyak dari antaranya diwariskan kepada kita antara lain :

1.      Ziarah ke Tanah suci, makam rasul dan martir

Selama masa Konstantinus, ditemukan beragam tempat yang diasosiasikan dengan penderitaan Kristus dan reliqui penderitaanNya. Peziarahan ke Palestina menjadi penting. Basilika dibangun di situs-situs “tempat suci” itu: Anastasi di kuburan suci dan Martyrium di Gunung Kalvari. Segera mereka menjadikaanya tempat peziarahan meskipun zaman itu masih sulit untuk mengadakan perjalanan. Peziarahan juga dibuat di tempat yang penting dalam Perjanjian Lama seperti Gunung Sinai.

Abad Pertengahan menjadi era keemasan dalam peziarahan. Para peziarah berduyun-duyun menghormati benda-benda yang berhubungan dengan penderitaan: jubah, sapu tangan Veronika, kursi suci dan kain kafan. Peziarah mengunjungi Roma untuk menghormati kuburan Petrus dan Paulus, katakombe dan basilika.[3]

2.      Doa Angelus

Doa Angelus sudah dimulai sejak tahun 1263 oleh Santo Bonaventura dalam Sidang Umum Ordo Fransiskan. Doa ini berkembang dari abad ke abad sampai dengan zaman Paus Yohanes XXII yang memberikan indulgensi kepada orang yang mengucapkan Doa Angelus. Paus Pius V dalam tahun 1571 memperbaharui dan melengkapi bentuknya seperti yang kita kenal sekarang ini. Pada waktu itu, Doa Angelus diucapkan pada dini hari untuk menghormati kebangkitan Yesus, pada siang hari untuk menghormati sengsara Yesus dan pada senja hari untuk menghormati peristiwa Inkarnasi.

Di Italia, Doa Kemuliaan ditambahkan sesudah setiap Salam Maria untuk menghormati Tritunggal Mahakudus dalam hubungannya dengan Maria. Paus Yohanes XXIII dalam catatannya tentang lonceng Angelus yang didentangkan pada pada pagi hari menggambarkan, lonceng dini hari merupakan tanda pergantian malam menjadi siang yang gemilang, pada saat itu langit menunduk untuk bertemu dengan bumi. Paus Paulus VI dalam ensiklik “Marialis Cultus” menulis, “Doa ini sesudah berabad-abad tetap mempertahankan nilainya dan kesegaran aslinya.” Paus Yohanes Paulus II menandaskan bahwa Doa Angelus tak perlu diubah sebab bentuknya sederhana, diangkat dari Injil, dan asal-muasalnya berkaitan dengan doa perdamaian dan misteri Paska.[4]

3.      Litani Orang Kudus dan Litani Perawan Maria

Litani orang kudus merupakan litani paling tua; kemungkina muncul sekitar tahun 595 tatkala digunakan oleh St. Gregorius Agung yang hidup antara tahun 540-640 dan menjadi Paus antara 590-604. Litani ini diupayakan agar dapat digunakan secara resmi dalam kehidupan Gereja.

Litani Santa Perawan Maria (Litani Loreto) diperkirakan muncul pada akhir abad pertengahan (Abad ke-15). Dari bentuknya Litani Loreto disusun sesuai dengan kebiasaan litani untuk Bunda Maria yang telah berkembang sepanjang pertengahan abad ke-15, bahkan juga dikaitkan dengan beragam litani yang telah muncul semenjak abad-abad sebelumnya. Lebih dari itu, litani ini dikaitkan dengan tempat ziarah yang terkenal Loretto dan setiap peziarah yang membanjiri tempat ziarah itu pulang ke rumah membawa teks itu.[5]

Namun di lain pihak tidak tertutup juga kemungkinan timbulnya penyimpangan di antaranya ialah:

1.      Penyimpangan dalam devosi kepada para malaikat: kaum beriman terseret oleh gagasan bahwa dunia ini takluk pada pergulatan/peperangan antara roh-roh baik/malaikat dan roh-roh jahat/setan, dimana manusia tergantung pada belas kasih kuasa-kuasa yang lebih kuat atas mereka dan manusia tidak berdaya.

2.      Komersialisasi atas reliqui para kudus dan juga penyembahan berhala atasnya.

3.      Pandangan bahwa Bunda Maria lebih tinggi kedudukannya daripada Yesus Kristus. Hal ini mengarah kepada praktik menjadikan Maria sebagai Allah.

Sepanjang Abad Pertengahan, terus menerus terasa hubungan yang rumit antara liturgi dan kesalehan umat. Namun, dapat ditemukan adanya dua gerak dalam hubungan antara keduanya: liturgi mengilhami dan menyuburkan aneka ungkapan kesalehan umat, dan sejumlah bentuk kesalehan umat diterima, bahkan dipadukan dalam liturgi. Namun menjelang akhir Abad Pertengahan, dualisme antara liturgi dan kesalehan umat tampak mencolok. Keduanya masuk ke dalam masa krisis. Karena runtuhnya kesatuan budaya, unsur-unsur sekunder dalam liturgi mendapat porsi yang berlebihan sampai merugikan unsur-unsur pokoknya. Sedangkan dalam bidang kesalehan umat yaitu karena kurangnya katekese yang memadai, penyelewengan dan pelebih-lebihan merongrong ungkapan-ungkapan yang tepat dari ibadat Kristiani.

2.3 Zaman Modern

Pada era modern, relasi seimbang antara liturgi dan devosi itu tidak tampak lagi. Devotio moderna di akhir Abad ke-15 tersebar luas di antara klerus dan awam serta dikenal dengan banyaknya tokoh spiritual. Hal ini turut memperkembangkan olah kesalehan meditatif yang bertolak dari kemanusiaan Kritus, misteri masa kecilnya, hidup tersembunyi di Nazaret, sengsara dan kematiannya. Sayangnya pengalaman subjektif dan pragmatis asketis yang mengagungkan usaha manusiawi ini membawa mereka yang maju dalam kehidupan spiritual kurang melihat liturgi sebagai sumber utama dalam hidup kristiani. De Imitatio Christi adalah contoh tipikal dari devotio moderna itu.

Konsili Trente (1545-1563) yang lahir dari kebutuhan menanggulangi tersebarnya protestantisme, melihat relasi liturgi dan devosi dari perspektif doktrin dan kultus, yang salah dicela, yang menyeleweng dikutuk. Iman Gereja dan tradisi liturgi dibela. Dekrit De reformatione generali (Pembaharuan Umum) mengusulkan suatu program pastoral, yang pelaksanaannya dipercayakan kepada Tahta Suci dan para uskup, yang menunjukkan kepedulian terhadap masalah-masalah yang muncul dari pendidikan liturgi.

Pada periode sesudah Trente, liturgi memasuki periode statis dengan keseragaman substansial sementara devosi memasuki perkembangan yang luar biasa. Olah kesalehan berkembang, hingga kadang-kadang muncul keanehan-keanehan: olah kesalehan umat terkadang berlangsung di tengah-tengah kegiatan liturgis dan mendominasinya. Kemudian dalam praktik pastoral kadang-kadang kesalehan umat itu lebih penting daripada liturgi.  Hal ini diperparah oleh kurangnya segi biblis, lemahnya penekanan pada sentralitas misteri Paskah dan pentingnya misa Mingguan.

AbadPencerahan melukiskan pemisahan “agama kaum terpelajar” yang dekat dengan liturgi, dan “agama umat sederhana” yang lebih dekat dengan devosi. Keduanya mengimani iman yang sama. Namun, karena kaum terpelajar menghidupi praktik agamanya berdasar pada pengetahuan intelektual, mereka memandang rendah devosi umat kebanyakan.

Pada Abad ke-18, dimana terjadi perluasan karya misi hubungan antara liturgi dan kesalehan umat mendapat penekanan yang berbeda di daerah-daerah misi: liturgi tetap mempertahankan ciri khas romawi, tetapi asing bagi kebudayaan khas setempat. Sedangkan kesalehan umat di satu pihak mengandung bahaya sinkretisme keagamaan, di lain pihak menjadi lebih otonom dan matang.

2.4 Masa Kini

Setelah Revolusi Perancis yang bertekad mencabut akar-akar iman Kristiani dan sungguh menentang ibadat Kristiani pada Abad ke-19, muncullah gerakan penting untuk menghidupkan kembali liturgi. Gerakan ini didahului berkembangnya eklesiologi yang ketat, yang melihat Gereja bukan hanya sebagai masyarakat hierarkis tetapi juga sebagai Umat Allah dan komunitas yang beribadat. Di samping itu juga terdapat perkembangan studi Kitab Suci dan Patristik, dan juga kepedulian Gerejawi dan ekumenis dari orang-orang seperti Antonio Rosmini dan John Henry Newman.

Pada abad ke-19 tidak hanya terjadi kebangunan liturgi tetapi kesalehan umat juga mengalami perkembangan yang amat penting. Kebangunan kembali nyanyian liturgi berjalan seiring dengan perkembangan madah-madah popular bagi umat, meluasnya penggunaan sarana liturgi seperti dwibahasa bagi umat, dan perkembangan buku-buku devosional.

Di samping itu juga mucul gejala-gejala yang sangat penting, yakni ungkapan-ungkapan ibadat lokal yang muncul dari prakarsa umat dan sering dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa menakjubkan dan penampakan-penampakan. Hubungan antara kesalehan umat dan liturgi pada Abad ke-19 harus dilihat dalam latar belakang kebangunan liturgi dan perkembangan terus menerus kesalehan umat. Dalam kaitan ini, harus dicatat bahwa hubungan itu dipengaruhi oleh penekanan yang kurang tepat dari kesalehan umat terhadap kegiatan-kegiatan liturgis.

Salah satu bentuk devosi yang muncul pada periode ini ialah Devosi kerahiman ilahi. Devosi Kerahiman Ilahi adalah pengabdian total kepada Allah yang Maharahim, yaitu keputusan untuk percaya penuh kepada-Nya, untuk menerima belas kasih-Nya dengan ucapan syukur dan untuk berbelas kasih kepada sesama, sebab Ia penuh belas kasih. Bentuk Devosi Kerahiman Ilahi ini didasarkan pada catatan-catatan St. Faustina Kowalska, seorang biarawati Polandia tak terpelajar yang dalam ketaatan kepada pembimbing rohaninya, menuliskan sebuah Buku Catatan Harian setebal kurang lebih 600 halaman dengan mana ia mencatat penampakan-penampakan yang dianugerahkan kepadanya mengenai kerahiman Allah. Bahkan sebelum wafatnya pada tahun 1938, Devosi kepada Kerahiman Ilahi telah mulai disebarluaskan.

Namun ada juga beberapa devosi yang perlahan-lahan mulai ditinggalkan/hilang misalnya devosi pada Darah Kristus. Devosi ini muncul pada abad pertengahan di barat. Beragam perhatian pada penderitaan Kristus  juga muncul pada waktu itu. Namun rupanya devosi ini tidak terlalu mendapat perhatian dalam Konsili Vatikan II. Devosi yang lain ialah devosi Kain Kafan Turin. Devosi yang sangat berkembang pada abad pertengahan ini juga perlahan-lahan hilang.

3.      DEVOSI UMAT DAN KONSILI VATIKAN II

Konstitusi Sacrosanctum Concilium  Konsili Vatikan II merumuskan secara tepat kedudukan devosi dalam Gereja Katolik, khususnya dalam hubungannyadenganliturgi. Sacrosantum Concilium (SC 10) mendeskripsikan liturgi sebagai puncak kehidupan Gereja. Tujuan utamanya ialah menghaturkan kepada Allah persembahan hidup, murni dan suci yang telah dilakukan sekali dan selamanya oleh Yesus Kristus dalam peristiwa Kalvari. Dalam perayaan liturgi Ekaristi, hal itu dihadirkan kembali oleh Gereja sebagai doa kepada Allah dalam roh dan kebenaran.

Konsili Vatikan II juga mengingatkan bahwa “hidup rohani tidak tercakup seluruhnya dengan hanya ikut serta dalam liturgi” (SC 12). Kehidupan rohani umat beriman juga diperkaya oleh praktik kesalehan umat kristiani” khususnya yang dianjurkan oleh Tahta Suci dan dipraktikkan umat dalam lingkup Gereja lokal dengan mandat dan persetujuan Uskup setempat.

Sacrosanctum Concilium, no. 13 berbicara secara khusus tentang devosi-devosi umat ini, yaitu:

“Olah kesalehan Umat Kristiani, asal saja sesuai dengan hukum-hukum dan norma Gereja, sangat dianjurkan, terutama bila dijalankan atas penetapan Tahta Apostolik.”

“Begitu pula olah kesalehan yang khas bagi Gereja-Gereja setempat memiliki makna istimewa, bila dilakukan atas penetapan para Uskup, menurut adat kebiasaan atau buku-buku yang telah disahkan.”

“Akan tetapi, sambil mengindahkan masa-masa liturgi, olah kesalehan itu perlu diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan liturgi suci; sedikit banyak harus bersumber pada liturgi dan menghantar umat kepadanya; sebab pada hakikatnya liturgi memang jauh lebih unggul dari semua olah kesalehan itu” (SC. 13)

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari pernyataan dokumen tersebut ialah :

a). Devosi-devosi umat sangat dianjurkan. Devosi-devosi itu bukan saja ditolerir untuk dijalankan. Mereka diakui martabatnya sebagai olah kesalehan yang muncul dari Umat Allah dan bahwa umat Allah ini berada dalam bimbingan Roh Kudus. Pengakuan Konsili Vatikan ini begitu signifikan mengingat sejarah panjang relasi yang kurang baik antara liturgi dan devosi-devosi umat. Penghargaan atas karya Roh Kudus dalam Umat Allah ini amat menggembirakan. Setelah mencermati dan meneliti secara sungguh devosi umat sebagai sebagai karya Roh Kudus sendiri dan sejalan dengan data pewahyuan, devosi-devosi itu bisa direkomendasikan dan diangkat sebagai bentuk devosi umat. Rekomendasi ini tidaklah berarti suatu keharusan. Devosi-devosi itu merupakan suatu bentuk penyembahan yang dimungkinkan, namun bukanlah bentuk yang paling penting. Umat bebas untuk menerimanya atau tidak memanfaatkannya.

b). Bentuk-bentuk devosi yang direkomendasikan oleh Gereja. Ada dua bentuk devosi-devosi umat. Yang pertama adalah devosi-devosi yang ditetapkan dan direkomendasikan oleh Tahta Suci bagi Gereja-gereja lokal, seperti Rosario, jalan salib dan litani. Yang kedua ialah devosi-devosi yang memiliki arti istimewa bagi Gereja setempat seperti devosi kepada Hati Kudus Yesus di Ganjuran Yogyakarta. Untuk keduanya, sangatlah penting bahwa devosi-devosi itu dibimbing dan diarahkan oleh hierarki yang berwenang. Hanya dengan jalan inilah ada jaminan bahwa umat tidak akan salah arah. Tuntunan untuk menjalankan praktik devosional yang benar dan bermakna mesti dibuat. Semangat yang ada di balik devosi itu pun mesti dijabarkan.

c). Beberapa prinsip-prinsip yang penting agar praktik devosi itu benar dan berarti.

1). Liturgi resmi pada hakikatnya lebih tinggi dari segala macam devosi umat yang ada. Liturgi merupakan bentuk penyembahan yang resmi dalam Gereja, sementara devosi-devosi itu merupakan doa dan praktik religius yang direkomendasikan. Karena perbedaan itu, devosi-devosi itu disadari berada di bawah liturgi : mereka itu mesti sesuai dengan semangat dan gambaran liturgi dan liturgi tidak diadaptasi menjadi devosi-devosi. Umat beriman diajak untuk menyadari akan pentingnya liturgi, melebihi bentuk-bentuk doa kristiani yang sah lainnya.

2). Devosi-devosi itu mesti selaras dengan masa-masa liturgis. Di satu sisi, devosi dan liturgi harus jelas perbedaannya namun juga mesti selaras satu sama lain.

3). Devosi-devosi itu mesti sesuai dengan liturgi suci. Formula yang cocok untuk olah kesalehan jangan bercampur baur dengan tindakan liturgis. Di satu sisi penekanan yang berlebihan atas praktik kesalehan dan devosional dari pada liturgi, sehingga seolah-olah membedakan bahasa, penekanan teologis dan tindakan liturgis harus dihindari, sementara beragam bentuk kompetisi dan oposisi pada tindakan liturgis mesti dicegah. Penekanan mesti diberikan pada misa Mingguan, hari raya dan hari masa-masa liturgi.

4). Devosi itu mesti mengalir dari liturgi dan mengarahkan umat padanya. Hal ini penting disadari mengingat adanya bahaya bahwa devosi menjadi lebih penting daripada liturgi atau terpisah darinya.

Kesalehan umat hendaknya selalu dilihat dalam kerangka iman Kristiani. Setiap pengembangan kesalehan umat tanpa memperhatikan liturgi dapat mendorong suatu proses yang akhirnya menjauhkan kaum beriman dari wahyu Kristiani dan memberikan peluang untuk menggunakan secara tidak tepat atau secara keliru unsur-unsur yang diambil dari kosmos atau agama-agama alami. Hal ini juga memberikan peluang untuk memasukkan ke dalam ibadat Kristiani unsur-unsur yang diambil dari kpercayaan-kepercayaan pra-Kristen atau yang merupakan ungkapan-ungkapan kultural, nasional atau psikologis etnis melulu. Demikian pula dapat menimbulkan ilusi bahwa yang transenden dapat dicapai lewat pengalaman-pengalaman keagamaan yang tercemar, dan dengan demikian memupuk pandangan bahwa keselamatan dapat dicapai lewat usaha-usaha pribadi manusia sendiri dan menghancurkan setiap pemahaman Kristiani yang autentik terhadap keselamatan sebagai karunia cuma-cuma dari Allah.

Uraian devosi dalam Konstitusi Sacrosanctum Concilium merupakan penjelasan sekaligus ajakan Gereja kepada seluruh anggotanya agar olah kesalehan berkembang sesuai dengan nilainya yang sejati. Supaya semakin dekat dengan Allah, umat Katolik berdoa dengan bermacam-macam devosi.[6] Gereja menekankan hal ini karena devosi memiliki peranan yang sangat berguna bagi iman umat dan akhirnya iman Gereja semesta. Sebab, devosi umat juga berperan dalam ajaran iman Gereja, misalnya penetapan beberapa dogma Maria yang dikuatkan dengan devosi umat. Dalam devosi tampak dimensi afektif umat yang seringkali tidak terdapat dalam Liturgi. Olah kesalehan dapat membantu mendekatkan orang pada Liturgi; olah kesalehan menyediakan pula tempat pengungkapan kolektif untuk kelompok-kelompok atau bentuk-bentuk kesalehan yang tidak dapat ditampung dalam Liturgi.[7] Inilah hal mendasar yang mau ditampilkan para bapa Konsili dalam konstitusi ini; olah kesalehan atau devosi harus menghantar umat pada penghayatan Liturgi yang semakin intim atau mendalam.

4.      PRAKTIK PASTORAL UNTUK MEMBANGUN DEVOSI UMAT

Kita telah melihat perjalanan panjang devosi dalam Gereja Katolik. Pertanyaan selanjutnya ialah praktik  apa dan bagaimana yang bisa dilakukan dalam konteks umat beriman Gereja Indonesia. Ada bebarapa hal yang bisa diusahakan yakni :

a.       Pemahaman yang memadai tentang devosi-devosi.

Mereka yang terlibat karya pastoral Gereja diharapkan dan hendaknya mengusahakan pemahaman yang solid mengenai praktik kesalehan umat. Paling tidak mereka diharapkan memiliki pengetahuan historis dan teologis. Dengan cara ini kita bisa menemukan makna dan tujuan asli dari praktik devosi itu. Hal ini menjadi prasyarat penting untuk melakukan serangkaian reformasi yang perlu.

b.      Pemahaman akan kerinduan, kebutuhan, dan keinginan umat.

Devosi umat dicintai karena mampu mengisi kerinduan dan kebutuhan umat beriman. Karena itu sangat perlu kontak dan kepekaan terhadap realitas kehidupan umat. Pemahaman akan realitas umat dan kerinduan rohaniah ini makin disadari penting akhir-akhir ini karena menyadari bahwa kekatolikan di Asia masih berwajah asing.

c.       Devosi dalam konteks dialog dengan kebudayaan dan interreligius.

Di Indonesia, kita hidup bukan dalam dunia sekuler namun dalam masyarakat yang memperlakukan agama secara serius. Kita tidak hidup dalam teologi “Tuhan telah mati” namun dalam keyakinan bahwa “Allah sungguh hidup”. Kita berjuang melawan penyalahgunaan agama demi kepentingan politik dan kelompok tertentu.  Kenyataan ini merupakan undangan untuk memberi perhatian akan nilai-nilai religius dan nilai kemanusiaan. Nilai-nilai religius yang dijunjung tinggi oleh orang Indonesia sepeerti perjumpaan dengan Allah, pertobatan, pengorbanan, lepas bebas, iman, kesetiaan, cinta yang otentik. Sedangkan nilai kemanusiaan seperti nilai kekeluargaan, keadilan dan perdamaian, belas kasih, kejujuran dalam masyarakat yang korupsi, solidaritas pada yang lemah, dan hormat akan kehidupan.

PENUTUP

Perjalanan yang ditempuh oleh devosi bukanlah suatu perjalanan yang singkat tetapi suatu perjalanan panjang yang berlangsung bertahun-tahun bahkan berabad-abad. Dari perjalanan panjang itu kita dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa devosi-devosi itu muncul dalam Gereja karena kebutuhan rohani dalam kebudayaan dan waktu tertentu. Gereja tidak pernah mengikatkan dirinya pada salah satu bentuk devosi tertentu dari kebudayaan tertentu atau pada ide antropologis yangmendasari devosi itu. Gereja memahami bahwa ekspresi religius tertentu meskipun secara valid sempurna dalam diri mereka, mungkin kurang cocok untuk orang dari zaman dan kebudayaan yang berbeda.

Devosi sebagai salah satu bentuk olah kesalehan harus mengarah dan bersumber pada Ekaristi serta menghantar umat untuk semakin dapat menghayati imannya dengan baik dan benar. Maka tidak dibenarkan jika umat dapat melakukan kegiatan keagamaannya dengan baik namun kehidupan sosialnya tidak sesuai dengan yang dihayati dan diimaninya. Intinya ialah olah kesalehan bukan hanya terbatas dalam ruang doa, kapel dan gereja tetapi dimana saja dan kapan saja, agar tidak menjadi suatu bentuk kesalehan semu. Maka orang yang tergerak hatinya untuk semakin terarah kepada Allah, ia juga akan tergerak hatinya bila melihat orang-orang yang miskin dan menderita.

 Daftar Pustaka

Buku :

Da Cunha, Bosco, O.Carm.. Teologi Liturgi Dalam Hidup Gereja. Malang: Dioma, 2004

 Hardawiryana, R., SJ. Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor, 1993.

 Haryono, YB. Devosi-Devosi Umat. Jakarta : OBOR, 2011.

 __________. Devosi Hati Kudus Yesus, Jalan Salib, Litani. Jakarta : OBOR, 2011.

 Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen.  Direktorium tentang Kesalehan Umat dan Liturgi Asas-asas dan Pedoman. Jakarta: OBOR, 2011.

Trigilio, Jr., John., PhD, Thd dan Kenneth Brighenti, PhD. Catolicism For Dummies. Indiana: Wiley Publising, 2003.

Internet :

http://yesaya.indocell.net/, Senin, 20 Februari 2012

 [1]YB. Haryono, Devosi-Devosi Umat, Jakarta: OBOR, 2011, hlm. 24.

[2]Lih. Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen, Direktorium tentang Kesalehan Umat dan Liturgi-Asas-asas dan Pedoman, Jakarta: Penerbit OBOR, 2011, no. 22-46.

[3] YB Haryono, Devosi Hati Kudus Yesus, Jalan Salib, Litani, Jakarta: OBOR, 2011, hlm. 66-67.

[4] Diakses dari, http://yesaya.indocell.net/id251.htm, pada Senin, 20 Februari 2012.

[5] YB Haryono, op. cit., hlm. 126-127

[6]John Trigilio Jr., PhD, Thd dan Kenneth Brighenti, PhD, Catolicism For Dummies (Indiana: Wiley Publising, 2003), hlm. 242.

[7] Bosco da Cunha, O.Carm, Teologi Liturgi Dalam Hidup Gereja, Malang: Dioma, 2004.


Tinggalkan komentar